Twinnies' Adventure

Kupejamkan mataku beberapa kali lalu kubuka lagi dan kupejamkan lagi. Kututup lagi mataku dengan bantal kuharap kubisa tidur malam ini, tapi mataku tak terpejam juga. Kuangkat bantal yang tadi kupaksa untuk memejamkan mataku, kutatap langit-langit kamarku yang gelap dan kosong tanpa bintang. Aku sudah putus asa memaksa diriku sendiri untuk tidur.


Aku bangun dan kutatap jam beker di sampingku. Ku usap-usap mataku dan ku tatap sekali lagi jam itu. Sudah hampir dini hari aku tak bisa tidur. Kubuka laci dari lemari kecil di sebelah kasurku, kutemukan bungkusan putih di dalamnya, lalu kubuka bungkusan itu, ternyata sebuah jaket yang tadi pagi aku pakai dan pasti mamah yang menaruhnya di sini. Kupakai jaket itu dan kubuka pintu kamarku yang menuju luar rumah. Kupikir tak ada salahnya melihat keindahan desa ini pada malam hari.
Hembusan angin Bandung yang dingin seketika menerpa wajahku dan mengibaskan rambut panjangku yang terurai. Suasana begitu lengang, dingin, dan sepi. Sesekali terdengar suara burung hantu yang begitu menakutkan. Kamarku begitu tinggi tepatnya dari lantai tiga ini aku dapat melihat seluruh  penjuru desa.
Tring…tring….!
Suara alarm dari sebuah ponsel terdengar tiba-tiba, memecah ketenangan malam  yang hampir pagi ini. Kutolehkan wajahku ke arah datangnya suara itu yang tepat berada di kananku. Kudekapkan tanganku erat di perutku, udara kini sudah semakin dingin. Kutatap lekat-lekat seseorang yang berdiri disana. “Fay, kau tak bisa tidur? Pantas saja aku juga begitu susah untuk memejamkan mataku”
“Fay, ayolah kita tidur untuk menyambut hari esok!”
“…..”
“Fay aku sangat lelah, ku kira aku hanya butuh beberapa jam saja untuk mengistirahatkan tubuhku”
“Lalu?”, jawabnya sedikit kesal
“Aku rasa kau dapat mengerti?”
“Aku benci pedesaan!”
“Ku rasa esok hari akan menggembirakan”, jawabku pada Fay menghibur
Fay hanya mendesah kesal atas pernyataanku tadi, kupandangi wajah Fay yang tersinari oleh lampu neon kecil, ia tampak begitu kesal matanya sudah begitu layu menahan kantuk yang mengusiknya.
“Fay?”, panggilku kembali padanya.
Ia tak sedikit pun memalingkan wajahnya padaku. Sepertinya ia memang benar-benar marah. Kedua tangannya ia kepal erat memegang jeruji besi yang menjadi pagar tempat itu.
“ Kalau begitu aku akan tidur lebih dulu!” ucapku memelas
Ku tutup kembali pintu itu dan kulepas dekapan tanganku. Kulihat, sekilas Fay menolehkan wajahnya. Aku tahu saudara kembarku itu bukan seorang yang pemarah hanya saja ia begitu tidak suka dengan pedesaan. Kulirik lagi Fay dari balik jendela, tak ada siapa-siapa di sana hanya pintu yang bergoyang. Kukira ia sudah masuk dan mulai tidur karna sekarang parasaanku juga mulai mengantuk. Sepertinya ucapanku yang terakhir membuatnya kasihan.
Kubaringkan jasadku di atas kasur dan kupejamkan mataku, begitu ringan dan nyaman. “Terima kasih Fay”.

            Pagi ini tak lepas dari dinginnya Bandung yang khas, begitu menusuk ke dalam tulang-tulang rusukku. Kutapaki sekolah baruku penuh harapan dengan seragam abu-abu yang kubanggakan dan amat kunanti sejak kelas tiga SMP. Fayra dan aku menelusuri sekolah baru kami. Kurasa Fayrani sedikit risih dengan sekolah ini seperti yang kurasa. Langkah kakinya sedikit ia jinjitkan menghindari bebecekan yang akan mengotori sepatu merah mudanya yang baru ia beli bersamaku kemarin sebelum kami terdampar di desa kumuh di Bandung ini.
Aku tak tahu bagaimana aku bisa berada di desa yang kumuh ini. Bahkan aku sedikit heran dengan orang tuaku yang mengirimku dan saudara kembarku ke sini, sekolah yang jauh dari kesederhanaan secara kasar dapat dibilang “ Sekolah yang kumuh”. Bangunannya saja terlihat jelas sudah lama tak direnovasi kembali, dindingnya yang retak, lantainya yang pecah-pecah dan becek, temboknya yang sudah sangat pudar, ku rasa tempat ini lebih pantas dijadikan kandang hewan.
Begitu berbeda sekali dengan kebanyakan SMA di Jakarta rumahku. Lantainya begitu putih, semua bangunan selalu direnovasi setiap pergantian tahun pelajaran dan semua fasilitas disana begitu lengkap tak ada yang kurang sedikit pun.
Langkah kubuat lebih pelan menyamai langkah Fayra yang sedari tadi tangannya memegangi tanganku erat. Aku bisa melihat jelas betapa risih dirinya dan yang sangat menganehkan tak biasanya ia dengan cepat melupakan kemarahannya tadi malam. Ia begitu pasrah dan kulihat setetes air mata jatuh di pipinya.
“Flo , ayo pulang? Aku tidak suka tempat ini”
“Tapi Fay, Ku rasa aunty Airin sudah menunggu kita di ruang kepala sekolah”
“Florina, apa kau tak perhatikan tempat ini? Sewaktu kita turun dari mobil semua mata tertuju pada mobil kita, seragam yang kita pakai Flo, seolah menyala bersinar dan seluruh rumah yang kita lewati sepanjang jalan, hanya ada rumah kita yang berdiri paling tinggi dan tegak di desa ini. Apa tempat ini cocok untuk kita?”
“Sudahlah Fayra, ku rasa sebentar lagi kita akan sampai”
Pintu di samping kami terbuka begitu saja. Aunty Airin menatap kami lekat, tangan kanannya mengatur kacamata minus tiganya agar lebih fokus. Busana yang di pakai auntyku begitu trendi berbeda dengan pengajar lainnya di sini bahkan kupikir di Jakarta pun busana itu terlihat lebih trendi. Tangannya melambai-lambai mengajak kami masuk ke ruangan itu. Bacaannya di depan pintu itu sudah sedikit pudar, hingga kami tak sadar bahwa ruangan itu adalah ruangan kepala sekolah.
“Flo, kurasa ada yang aneh di sini”
“Sudahlah Fay, kita ikuti saja aunty kita”
“Halo semua Fayrani dan Florinaku, Aku tahu pasti gadis manis yang di kuncir satu dengan topi hijau di atasnya adalah kau kan si tomboy Fayrani dan miss merah muda yang berambut panjang yang terurai indah itu pasti kau si cantik Florina… hahaha….!!!! Ternyata aku masih ingat dengan kalian berdua hahaha….!!!!!”
Ku masukkan kedua telunjukku ke dalam kedua lubang telingaku, suara aunty Airin begitu menyakitkan pendengaranku dan Fayra. Tawanya begitu mengerikan ku rasa benar apa yang dikatakan Fay,”Disini begitu aneh”.
“Aunty berhentilah, telingaku sakit..!!” teriak Fayrani keras
“Ups! Sorry kurasa aku kehilangan kendali, hmm.. bagaimana kalau kita mulai pembicaraan”
“Baiklah Aunty, tapi ku rasa kau salah mengenali kami karna si tomboy itu adalah Flo dan si cantik itu aku,Fay! Cukup jelas aunty?” lanjutnya sedikit kesal
“Oh.. sudahlah yang penting kalian Flo dan Fay ,iya kan? Oia.. aku lupa untuk menyuruh kalian duduk, duduklah!”
“Nyiiiiittt…..!!!”
Suara kursi yang aku dan Fayra duduki terdengar begitu nyaring. Kursi ini begitu rapuh seperti kursi goyang kakek yang dua tahun lalu aku buang diam-diam pada tukang loak. Kumpulan debu mengepul begitu tebal di depan mataku seiring kududuki kursi itu. Kuoleskan telunjukku pada gagang kursi yang kududuki, ukh…warna hitam debu yang begitu kontras dengan kulitku tampak jelas di sana.
“Baiklah ku rasa kalian berdua tidak pernah suka dengan persamaan? Betulkan?”, tanyanya langsung pada kami,” bagaimana menurutmu Flo?”, lanjutnya
“Aku pikir semua itu hal yang biasa”, jawabku singkat
“Ehm.. bagaimana menurutmu, Fay?”
“Benar sekali aku memang tidak pernah suka persamaan dan menurutku keluar dari desa ini lalu pergi menuju Jakarta, berpisah dengan Flo itu adalah hal yang baik”, jawab Fayra dengan begitu tegas
Ku palingkan wajahku seketika ke arah Fay, ku kira ia sudah lupa dan ternyata ia masih kesal dan memegang teguh pendiriannya yang anti dengan persamaan.
“Tapi aku akan tetap patuh pada mamah”, tambahya sambil tersenyum manis padaku, itulah jawaban yang sedari tadi aku tunggu darimu.
“Baiklah, Melody sepertinya paham betul dengan hal persamaan dan ia mendukung hal itu. Jadi ku pikir kalian akan belajar bersamaku setiap hari di sini dan berbeda dengan yang lainnya”, tutur Aunty Airin
“Apa!!!!”, jawab kami berdua serentak sambil melihat sekeliling ruangan itu, sepertinya aunty tahu apa yang ada dipikiran kami
“Benar sekali tempat ini kumuh, kotor , bau, dan hanya ruangan ini yang aku sediakan untuk kalian, dan tugas pertama kalian….yaitu….”, aunty mendekatkan pandangan matanya pada kami dan telunjuknya yang begitu aneh bermotif macan itu bergantian menunjuk kami. Aku dan Fay saling berpandangan dan sesekali menengok kearah aunty Airin. Aku dapat merasakan rasa aneh yang sangat yang dirasakan oleh saudara kembarku Fayrani.
”BERSIHKAN RUANGAN INI TANPA SETITIK PUN NODA!!!!!”, teriak Aunty melanjutkan perkataannya yang tadi sengaja ia putus. Ku lihat Fayrani sedikit takut dan menundukkan wajahnya seketika saat aunty Airin berteriak.
“Aku harus pergi sekarang bye..bye..! Dan tak lupa satu lagi Melody mengatakan bahwa semua fasilitas tak boleh kalian gunakan terutama mobil, maka dari itu ku rasa dua sepeda yang ada di pojok sana akan amat berguna bagi kalian untuk pergi dan pulang sekolah hahaha…..!!”, tambahnya dengan gaya amat mengesalkan.
Tawanya memang begitu mengerikan sekaligus menyakitkan. Ini adalah keanehan yang keberapa kali yang harus aku katakan, setahuku mamah selalu suka dengan persamaan diantara aku dan Fay dan malah ia begitu mambenci perbedaan, maka dari itu Fayrani pun yang ingin ikut dengan aunty Gabriella tak ia izinkan dan yang ku benci saat ini adalah aunty kesayanganku, Airin yang berubah menjadi seperti seorang nenek sihir.
Ku sapu ruangan ini dari sudut yang berbeda dengan Fay. Beberapa kali aku bersin hanya karna kepulan debu yang amat dahsyat menyerangku. Ku lihat Fay membanting sapunya kesal lalu berhenti menyapu dan malah memainkan poselnya.
“Fay, siapa yang mau kau hubungi saat ini?”
“Tentu saja father, karna aku tahu pasti mamah tak akan mengizinkan kalau aku meminta untuk di jemput”, jawabnya acuh
“Aku setuju Fay, ku pikir ini semua sudah tidak beres!”
“Ukh… kenapa tidak ada sinyal sedikit pun sih Flo!”, keluhnya kesal pada ponsel itu
“Fay, aku akan ke kamar mandi dulu ya? Kau tak mau ikut?”,ajakku padanya
“Tidak, aku tidak mau, aku tak bisa membayangkan bagaimana kotornya kamar mandi di sini”, jawabnya begitu yakin lalu meneruskan pekerjaan menyapunya
“Ya..Sudah”
Udara begitu segar dibandingkan saat aku berada di dalam ruangan yang seperti gudang itu. Ku telusuri semua ruangan untuk mencari di mana toilet itu. Ku dapati setiap kelas sudah memulai mata pelajaran mereka masing-masing dan pastinya hanya aku dan Fay saja yang masih harus membersihkan ruangan kelas.
Pikiranku masih terfokus pada auntyku yang satu ini. Apakah hidupnya  di belanda selama dua tahun terakhir ini telah mengubahnya seratus delapan puluh derajat hingga hari ini saat ia baru pulang tingkah lakunya ku anggap begitu ANEH. Setahuku mamah mengirimku ke sini katanya untuk mencoba tantangan sekolah yang baru yang dikepalai oleh orang belanda yang bukan lain adalah auntyku sendiri, Airin. Tapi, kenapa sekolah yang katanya sangat bagus itu seperti ini. Banyak hal ganjil yang tersimpan di sini.
Ku dengar suara langkah kaki yang menuju ke arahku. Ku palingkan langsung tubuhku dari jalan ini. Aku bersembunyi di balik tiang yang kurasa cukup untuk menyembunyikan tubuhku. Ku perhatikan aunty Airin berjalan dengan seorang lelaki yang wajahnya sungguh tak asing lagi bagiku. Aku rasa aku mengenalinya ia adalah paman Robert. Aku tak percaya dengan apa yang ku lihat, seharusnya paman Robert ada di penjara saat ini. Ia adalah seorang pengacara palsu yang pernah menipu keluargaku. Aku tak menyangka ia akan keluar dari penjara secepat ini.
Aku ikat lebih pendek lagi rambutku yang tadi bergoyang ke segala arah. Ku ikuti mereka secara sembunyi-sembunyi. Pembicaraan yang mmereka lakukan agak sedikit pelan, tapi aku tetap bisa mendengarnya meski harus menyimaknya teliti.
“Robert, si kembar itu kini sudah ada di gudang”,ucap aunty Airin
“Bagus, ku rasa kita culik mereka ketika sekolah usai”,ucap paman Robert
“Baik aku pikir juga seperti itu”
“Sarah, kau memang pintarsebentar lagi kita akan kaya dan terutama dendamku pada keluarga itu akan terbalaskan”, keningku mengerut, dan ternyata mamah telah di tipu, wanita ini bukan auntyku namanya adalah Sarah seorang yang begitu mirip dengan aunty Airin.
Aku berlari menuju Fayra yang masih berada di ruangan itu.ku rasa Fay benar, hari ini tidak menggembirakan. Ku buka pintu itu, Fayrani menyambarku seketika aku masuk. Nafasku begitu terengah-engah.
“Aku punya kabar buruk”, ucapku dan fay bersamaan
“Apa yang kau dapat,Fay?”, tanyaku antusias
“Aunty Airin, ia berbohong. Surat-surat ini menunjukkan siapa kepala sekolah yang asli yaitu Pak Darius, ia juga seorang ketua RT di sini, lalu berita apa yang kau bawa,Flo?”
“Fay, kita harus lari dari sini secepatnya”
“Apa?! Lari?! Bagaimana?!”
“Ayo Fay, kita lari dengan naik sepeda di pojok itu, aku akan cerita saat kita sampai rumah”
Aku dan Fay menggoes sepeda begitu kencang menuju rumah. Jalanan di sini memang sudah benar-benar rusak, tak ada satu pun jalan yang terbebas dari becek membuat kami makin berat untuk menggoes.
“Flo, aku lelah”,keluh Fayra
“Ayolah Fay, sebentar lagi, ini begitu serius”
Aku dapat melihat separuh bagian rumahku yang begitu tinggi. Aku yakin sebentar lagi kami akan sampai dan aku akan langsung perintah bibi dan pak Gatot untuk pergi segera dari sini.
Gerbang itu terbuka dengan lebar, terasa aneh bagiku dan Fay. Nafasku dan Fay sudah sangat terengah-engah. Ku ambil ikat rambut dalam tasku dan ku lemparkannya pada Fay.
“Fay ku kira kau membutuhkan ini”, ucapku padanya
“thank you ,Flo”
Kami berjalan setengah berlari menuju pintu rumah, Fay berada di belakangku. Ku ganti tas yang di gendong Fay dengan tasku.  Ku rasa itu akan sangat berguna bagi Fay karna didalamnya ada beberapa alat yang dapat digunakan untuk berkelahi. Aku sedikit khawatir kalau mereka telah bergerak lebih cpat dari kami.
Kami buka pintu itu bersamaan. Kami amat terkejut melihat apa yang ada dihadapan kami. Pemandangan yang amat mengerikan sudah terpajang di sana. Bibi dan pak Gatot telah diikat di sebuah kursi dengan mulut mereka yang dilakban lalui tepat di sebelah mereka aunty Airin yang asli.
“Aunty Airin!!”, teriak kami bersamaan
“Sepertinya aku tahu apa yang terjadi saat ini Flo tanpa harus kau jelaskan”, bisiknya padaku, aku juga takkan member tahunya lagi.
Wanita yang bernama Sarah itu tepat berdiri di samping aunty Airin mereka begitu mirip sekali seperti halnya aku dan Fayra. Di sebelah Bibi dan pak Gatot berdiri dua orang bodyguard yang tegap dan besar. Ku rasa ada satu diantara mereka yang kurang, “Paman Robert”
“Fay, awas!!”, ku dorong Fay sampai jatuh. Ku tangkis tangan paman Robert yang yang hendak memukul Fayra dari belakang. Tangannya ku kilir balik dan ku hajar dengan salah satu jurus andalanku.
“Seharusnya kau tahu, aku seorang juara kelas nasiona!l”, sindirku padanya yang kini terkupur di lantai
“Flo cepat kita lari dari sini!!”, seru Fay padaku
Kami lari cepat menuju sepeda kami sebelum dua bodyguard tadi, yang ternyata ada dua lagi mengejar kami dengan mobil jeep mereka.
Udara sudah semakin memanas, matahari sudah semakin menengah. Aku sudah sangat lelah menggoes sepedaku, aku dan Fay pun tak tahu dimana kami sekarang. Ku tengok sekali lagi ke belakangku dan mereka masih mengejar kami. Aku sangat yakin yang menjadi tujuan mereka adalah aku dan Fayrani bukan mereka yang di sekap di sana.
“Flo, kurasa lebih baik kita tinggalkan sepeda kita disini dan kita bersembunyi”, usul Fay
“Benar Fay,aku setuju”, jawabku antusias
Ku lemparkan sepedaku dan juga Fay untuk mengecoh mereka yang mengejarku, yang ku butuhkan kini hanyalah tempat bersembunyi, istirahat, menelpon polisi, menelpon mamah untuk membawa kami pulang.
Ku ambil ponselku lalu ku telpon polisi begitu juga dengan Fayrani yang mencoba menelpon mamah yang hanya dijawab oleh suara operator bahwa ponsel itu sedang sibuk atau berada di luar jangkauan. Begitu mengesalkan sinyal yang muncul dan timbul lagi dan kedua orang tuaku yang selalu sibuk.
Ku pikir lebih baik sekarang kita harus melawan mereka, batinku
Ku awasi mobil jeep itu dari tempat persembunyian kami, sepertinya mereka sudah putus asa karna sekarang mereka membalikkan arah mobilnya dan ku awasi mereka sampai mereka menghilamg di sudut jalan itu.
“Flo, sebaiknya kita lawan mereka!”,ucap Fay mengawali apa yang ingin aku katakan
“Iya Fay, ku rasa sebentar lagi polisi juga akan sampai”
“Ayo!”
“Tunggu Fay, ku kira kau harus membuka tasku lebih dulu”
“Maksudmu?”
“kita susun rencana kita dari sekarang”
“Baiklah”
Fay melepaskan tasku yang sempat kami tukar tadi. Ku keluarkan isinya yang kurang lebih adalah alat-alat olah raga. Ku tunjukkan padanya sebuah skipping, dua buah bola kasti, dan sepasang sarung tinju. Aku sedikit geli melihat wajah Fay yang begitu heran melihat isi tasku. Sebenarnya tak ada unsur kesengajaan benda-benda itu aku bawa, hanya saja karna terburu-buru aku jadi lupa menaruhnya di lemari.
“Fay, ini semua untuk melindungi dirimu”
“Apa?! Semua ini??”
“Kau tidak lihat berapa banyak bodyguard itu?”
“Lalu, kau?”
“Ingat Fay, aku seorang sabuk hitam, kau berani kan?”, tanyaku meyakinkan
“Ingat Flo, aku juga seorang kapten cheers, aku pasti tak akan takut”, ucapnya tega dan menurutku tak ada hubungannya sama sekali.
Kami angkat sepeda yang kami jatuhkan tadi. Uadara kini mulai dingin kemabali seiring sore menjelang. Kunaiki kembali sepeda gunungku, ku rasa lebih enak menunggang kuda dari pada harus menaiki sepeda yang seperti ini. Ku lihat Fay begitu antusias, ia bahkan telah melaju lebih dulu.
“Aku tak pernah menyukai pedesaan ya Flo, aku lakukan ini semua agar aku bisa cepat pulang!”, Ucap Fay yang mungkin sudah hampir seratus kali, sangat menyebalkan terdengar ditelingaku. Untungnya masih ada beberapa monster di rumahku jadi lebih baik ku lawan mereka saja dulu ,baru nanti aku bisa melawan perkataan Fay.
Fay melajukan sepedanya lebih kencang dariku, jarakku dengannya sekitar dua meter. Entah apa yang merasukinya sehingga dia semangat seperti ini, apa mungkin karna ia benci dengan pedesaan dan ingin cepat pulang? Ah, sudahlah sepertinya hari ini aku banyak berburuk sangka terhadapnya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku melihat Fay sekarang.
Ku perhatikan lajunya semakin lama semakin pelan dan berhenti? Ada apa dengannya, tangannya melambai-lambai ke arahku mengajakku agar lebih cepat, wajahnya terlihat begitu serius. Ia meraih sesuatu dari dalam saku seragam SMA barunya. Ku berhenti tepat disebelahnya. Fay mengulurkan tangannya dengan sebuah ponsel di sana, aku makin bingung dengan sikapnya.
“Flo aku pikir kau harus telpon atau sms mamah atau apa sajalah yang penting dapat menghubungi mamah yang tadi sempat gagal, dan katakan padanya agar cepat datang ke sini!”, ucapnya tiba-tiba
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Aku akan coba mengalihkan dua bodyguard yang berjaga di depan sana”, jawabnya sembari menunjukkan telunjuknya ke dua orang yang berjaga di depan itu
“Dan satu lagi, setelah kau telpon kau harus segera masuk ke rumah, aku yakin di dalam masih ada beberapa penjaga yang harus kau tangani, bukankah kau si sabuk hitam? Ku serahkan itu semua padamu, okay?!”, lanjutnya, tapi kenapa sekarang kau yang mengaturku?  Tak apalah, itu ide yang cukup jenius
“Kau yakin, Fay?”, tanyaku khawatir
“Sangat yakin!”, tegasnya
“Benar?”
“Aku sangat,  sangat, sangat, yakin, Flo!”
Fay meninggalkanku begitu saja, di depan sana memang ada dua bodyguard yang menunggu. Ku harap polisi akan cepat datang dan Fayrani berhasil. Beberapa kali ku telpon mamah akan tetapi hanya di jawab oleh mail box yang menyuruhku untuk meninggalkan pesan. Aku lihat sekali lagi gerbang rumahku ternyata Fay berhasil mengalihkan perhatian mereka. Ku tulis pesan pendek pada mamah dengan huruf yang ku singkat sesingkat-singkatnya, lalu ku terbang dengan kedua kakiku menuju gerbang rumahku saat para penjaga itu tak ada. Aku mengintip ke dalamnya dari sebuah celah kecil, ternyata dugaan Fay benar di dalam masih ada dua penjaga lagi. Ku buka gerbang itu dan ku persiapkan sebuah jurus andalanku yang pernah ku pelajari dari seorang pelatih yang berasal dari India. Ku siapkan kuda-kudaku lalu ku ayunkan sebuah pukulan dahsyat pada mereka, tak ku sangka aku masih bisa melakukan jurus itu, ku lihat sekarang mereka semua terkapar kesakitan akibat pukulanku tadi.
“Bagus Flo!!!”,ucap Fay dari belakang yang membuatku terkejut
“Cepat sekali Fay? Bagaimana mereka?”
“Sudah nanti ku ceritakan, yang kita butuhkan sekarang adalah kedatangan polisi, betulkan?”, ucapnya sambil tersenyum
“Ayo Fay, sekarang kita selamatkan mereka!”
“yups!”
“Kau siap dengan alat-alat?”
“Sangat siap!”
Kami membuka pintu itu bersamaan. Tepat di hadapan kami wanita yang bernama Sarah dan paman Robert. Sepertinya mereka begitu terkejut malihat aku dan Fay berhasil mengalahkan ajudan-ajudan mereka di luar sana. Tanpa ragu, aku teriakan aba-aba pada Fay, “Serang!!!!”
Fay melawan sarah dan Aku melawan paman Robert. Ku lihat Fay begitu lincah melawan wanita itu, semoga saja ia berhasil. Sekarang ku fokuskan pandanganku dan fikiranku pada orang di depanku ini, paman Robert. Aku yakin dengan tubuhnya yang besar dan tegap ia akan sulit untuk aku lumpuhkan. Aku yang menyerangnya lebih dulu. Ku arahkan pukulan pertamaku ke perutnya, ternyata ia menangkis pukulanku dengan cepat hingga tubuhku terpelanting ke lantai, sakit sekali rasanya. Senyum licik ia pamerkan padaku. Ku coba berdiri sekali lagi dan kali ini pukulannya tepat mengenai pundakku. Aku kembali terjatuh, ia begitu kuat.
“Ternyata si tomboy ini tak ada apa-apanya!”,ucapnya begitu sombong
“Baiklah Paman, akan ku akhiri pemanasan kita!!”
“ Baik, ku rasa tak pantas bagi seorang pria untuk menyerang lebih dulu”
“Baguslah karna memang aku yang akan menyerangmu dan mengalahkanmu terlebih dahulu!!”
Aku bangun dan berdiri di depannya. Ku rasa aku salah telah meremehkannya. Ku lihat Fayra telah berhasil membuka ikatan pak Gatot dan aku tak akan kalah darinya. Ku siapkan kuda-kudaku, ku tarik nafasku dalam-dalam, ku pakai jurus yang ku lakukan pada ajudannya tadi. Tepat sekali, ia langsung terkapar di lantai, begitu puas rasanya. Keringat begitu banyak membanjiri keningku, tanganku mulai gemetar, tapi ku usahakan untuk tetap terus memberi pukulan padanya untuk melumpuhkannya. Ku lihat wajahnya yang sudah mulai menciut melawanku, tapi ia masih berusaha untuk mengarahkan pukulan padaku. Pak Gatot diam-diam memukulnya dari belakang tepat pada bagian kepalanya. Ia jatuh dan kurasa pukulan yang dilayangkan pak Gatot hanya membuatnya pingsan sementara.
“Pak Gatot, pekerjaan yang sempurna!”, tegurku padanya
“Iya Non, bapak sebal sekali dengan orang ini”, jawabnya singkat
“Pak, ikat dia! Aku akan membebaskan yang lain”
“Baiklah”,jawabnya kembali
“ARRRGHHHH!!!!”
Ku dengar suara teriakan yang begitu tiba-tiba, sepertinya aku mengenali suara itu, FAYRANI. Ku lepaskan kedua tanganku dari ikatan bibi begitu juga pak Gatot ia melepaskan ikatannya yang hampir selesai pada paman Robert. Tepat didepanku, ku lihat Sarah menodongkan pistolnya pada Fayrani.
“Ingat jangan ada seorang pun yang mendekat atau pistol ini akan menembak Fayrani !“, ucapnya memperingatkan kami
Kami semua tak bergerak sama sekali. Aku takut, sangat sangat takut akan terjadi apa-apa pada Fayrani. Sarah membawa Fay berjalan dengannya menuju pintu. Tak ada yang bisa aku perbuat sekarang, harapan terakhirku adalah polisi, cepatlah datang!.
Sarah membuka pintu itu dan tepat sekali di hadapannya berdiri beberapa polisi yang menghadangnya balik dengan pistol-pistol mereka, seketika pistol yang ada di tangannya terjatuh ke lantai. Fayrani melepaskan dirinya dan langsung lari memelukku. Wajahnya begitu ketakutan bahan sekujur tubuhnya bergetar, jantungnya berdetak begitu cepat, aku pun dapat merasakan ketakutan itu. “Flo, aku takut!”, bisiknya pelan padaku, “Tenanglah Fay, sekarang kau sudah aman”, jawabku
Polisi itu langsung memborgol Sarah dan paman Robert yang masih dalam keadaan pingsan. Ku jabat tangan polisi itu,
“Terima kasih anda telah membantu kami menangkap penjahat buruan kami ini, mereka telah melarikan diri dari penjara selama satu minggu, kalian memang anak-anak yang pemberani”, pujinya padaku dan Fay. Aku senang mendapat pujian itu, tapi aku juga sedikit ingin tertawa karna menurutku aku dan Fay tak seberani itu.
“Sama-sama, Pak! Terimakasih juga telah datang di waktu yang tepat”
“Kalian memang anak yang hebat!”, tambahnya
“Makasih, Pak!”, ucapku terakhir pada mereka sebelum mereka pergi
Aku dan Fay langsung membuka ikatan yang ada pada aunty Airin. Kami lekas memeluknya erat. Auntyku yang tercinta dan ku banggakan akhirnya kembali.
“Fay, Flo, maafkan Aunty ya..”
“Tak apa Aunty, yang penting sekarang kita semua selamat”, ucap Fayrani begitu bijak
“Tok..tok..tok..”, suara seseorang yang mengetuk dari balik pintu lantas mengagetkan kami semua yang ada di ruangan itu
Mata setiap orang tertuju pada pintu itu. Aku menyimpan kekhawatiran yang cukup besar. Aku takut mereka berdua kembali lagi dan menyerang kami. Ku perhatikan lekat-lekat gagang pintu yang mulai terbuka.
“ Fay, Flo bagaimana keadaan kalian semua?!!”
“Mamah!!!!”, teriakku serentak bersama Fay, kami peluk erat mamahku yang tercinta yang sedari tadi ku tunggu kedatangannya dan kami semua lantas berpelukan bersama. Aku ,Fay, aunty Airin, Dan juga Bibi.
“Pak Gatot siapkan mobil!!!! Kita akan langsung berangkat pulang ke Jakarta”, seru Fayra begitu bahagia.
“Baik,Non!!”, ucap pakGatot begitu siap

Ku tapaki SMA baruku. Disini memang panas, karna inilah Jakarta. Aku tak pernah menyangka kejadian yang kemarin aku alami, hanya dalam satu hari sudah terjadi beberapa kejadian yang menganehkan dan bahkan sangat mengerikan kalau di ingat kembali. Dari Fayrani yang sejak awal tidak pernah menyukai pedesaan dan selalu teguh pada prinsipnya yang tidak pernah menyukai persamaan, sebenarnya aku tahu maksudnya ia tak pernah suka apabila semua yang ia tinggali selalu sama denganku. Kedua, sekolah SMA baruku yang lebih pantas ku sebut sebagai kandang sapi, lalu aunty yang palsu yang menyamar menjadi kepala sekolah di sana. Ternyata ia adalah kakak aunty ku tercinta yang begitu mirip dengannya, tapi sayang ia amat sangat jahat. Kemudian paman Robert yang membantu aunty Sarah dalam mencelakakan kami yang menjadi buronan polisi.
Tapi berkat semua itu aku jadi lebih mengetahui siapa sebenarnya saudara kembarku itu. Fayrani kembaranku memang orang yang sangat baik, ia dapat menyesuaikan dirinya pada beberapa hal yang tak pernah ia suka. Dan menerima semua itu dengan sabar dan ikhlas, berbeda sekali denganku yang kadang  pendendam. Yah… meskipun ia selalu menyerukan prinsipnya yang kadang membuatku kesal.
Akhirnya semua itu berakhir dengan begitu indah, dan karna kejadian kemarin mamah jadi mengizinkan Fay untuk menegakkan prinsipnya itu dan sekarang ia berbeda sekolah denganku. Kurasa itu adalah pengalaman awal SMA yang amat mengenang, dan kurasa Fay juga sudah mulai menyukai pedesaan berkat kejadian kemarin.
Ku pandang ke depan gerbang yang sebentar lagi akan ku lewati.Ternyata Fay sudah menjemputku, bukankah jarak sekolahnya agak jauh dengan sekolahku. Ah.. tak apalah kuharap ia baru datang.
“Flo, aku tetap tidak akan menyukai pedesaan!”, seru Fay begitu sewot saat aku memasuki mobil, sepertinya ia membaca fikiranku.
“Ayo cepat! Kau pikir aku baru datang?!”, serunya sekali lagi sambil tersenyum jail padaku. Huh.. sepertinya aku harus hati-hati kalau berpikir.
TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin dan Narapidana

Kisah Suci

The Number One for Me